Perjalanan saya sebagai Tim Advance Ekskursi Arsitektur UI menuju Pulau Seram membuat saya harus berangkat satu minggu lebih awal dari teman-teman yang lain. Tim Advance terdiri dari Saya, Fadlan, Rendy, Rian, Nurul dan Nisa. Kami bertugas untuk menghampiri Stake Holder yang sebelumnya sudah kami hubungi saat masih di Jakarta dalam rangka mengurus izin untuk melakukan penelitian di Pulau Seram. Hari pertama, 2 Juli 2018, kami tiba di bandara
Pattimura, Ambon, kami langsung bergegas menemui stakeholder bapak Erwan dari BPHP. Selanjutnya ke PANGDAM untuk menemui Bapak Mayjen Suko untuk menjelaskan maksud dan tujuan perjalanan kami. Ketika kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke stakeholder lainnya, kami diajak untuk makan malam bersama mereka sebagai salam hangat mereka menyambut tim kami ke Ambon. Setelah Maghrib, kami bergegas menuju restoran yang telah ditentukan tempat bapak Mayjen Suko via sms. Tiba disana, kami bertemu kembali dengan Bapak Erwan dan rekannya dari BPHP, rupanya Bapak Mayjen juga mengundang stakeholder lainnya pada makan malam ini. Semua telah hadir dan makan malam dimulai. Kami diajak mencoba Papeda sebagai makanan khas Indonesia Timur, yang menjadi pembuka perjalanan kami menjelajah Seram nantinya, yaitu Papeda. Semua bilang kalau orang sini (Ambon), belum kenyang kalau belum makan Papeda. Mendengarnya, saya dan teman teman saya yang belum pernah mencoba menjadi penasaran ditambah rasa lapar yang sudah tiba setelah berjalan mondar-mandir seharian. Pelayan mengaduk-ngaduk, dan menuangkan Papeda dengan gata-gata ke seluruh piring tamu, ditambah dengan ikan dan kuah asinnya menjadi kombinasi yang populer untuk makan Papeda ini. 'jangan dikunyah, langsung ditelan aja'. Saya menurut. Mengambil sendok, memotong sedikit papeda untuk suapan pertama, sendok masuk kemulut, dan saya tersedak, rupanya secara tidak sadar saya masih mengunyahnya seperti makan nasi. Aroma yang dihasilkan sangatlah wangi apalagi dengan kuah ikannya yang semakin menguatkan rasa dari Papeda yang tawar. Kembali mengangkat sendok untuk suapan kedua, saya mencoba menguyahnya sedikit demi sedikit. Teksturnya yang berbeda , agak lengket, membutuhkan pembiasaan sedikit untuk memakannya dengan benar. Papeda berlaku seperti makanan pembuka karena setelah ‘selesai’, piring-piring diangkat dan menu utama pun masuk. Acara malam itu berakhir dan keesokan harinya kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Seram untuk mendatangi tujuan awal kami, Huaulu dan Hahualan. Jum’at, 6 Juli 2018 kami tiba di Huaulu pukul 9 WIT. Raja Rifai menyambut kami selaku kepala dusun Huaulu dan mengajak kami masuk ke dalam Baileo untuk berbincang-bincang, tak lupa kami menyampaikan maksud dan tujuan kami datang ke Huaulu. Sedikit lama kita berbincang, kita diajak untuk masuk ke dapur dari Baileo itu untuk makan malam, sudah disiapkan mie dan nasi, dan beberapa sayuran yang sangat familiar bagi kami lidah Jakarta. Saya bingung mengapa tak ada Papeda disitu. Kami makan seperti biasa dan malam itu berakhir di dalam kantung tidur yang telah kami bawa karena udara sangat menusuk. Keesokan harinya kami bangun dan berkeliling sejenak untuk mendapatkan pemandangan yang kami belum dapatkan karena kemarin kami tiba terlalu malam sehingga tidak bisa melihat sekitar. Sebelum penelitian dimulai, kami diajak sarapan yang sudah disiapkan di dapur. Menu yang ada lagi-lagi masih familiar untuk lidah kami dan masih tidak ada Papeda. Makan selesai dan kami memulai pengambilan data. Saya dan teman teman berkeliling untuk mendokumentasikan Huaulu. Saat saya sedang berkeliling didalam Baileo, saya melihat asap rebusan-rebusan di dapur. Penasaran, saya masuk dan saya melihat mereka sedang membuat papeda, sebuah pengalaman unik bisa melihat pembuatan papeda asli dari tempatnya berasal. Rupanya, mereka menyiapkan papeda itu untuk kami sebagai makan siang penutup sebelum kami kembali lagi ke Negeri Sepa sore hari itu. Raja Rifai sekarang menemani kita untuk makan siang bersama bapak bapak lainnnya. Bertemu kembali dengan gata-gata, yang kami gunakan untuk mengaduk-ngaduk papeda sebelum kami taruh pada piring kami masing-masing, kemudian ditemani oleh ikan dan kuahnya yang membuat rasa papeda ini semakin lengkap dan lezat seperti Papeda yang kami makan di Ambon sebelumnya. Tiba kembali di Negeri Sepa di rumah Bapak Mat, yang mana menjadi basecamp Tim Advance selama ekskursi berlangsung, kami dibuatkan Papeda juga karena merkea mengira kami belum pernah mencoba sebelumnya dan memperkenalkan kami dengannya. Ikan dan kuah kuning, serta beberapa lauk lainnya lagi lagi menjadi pendamping Papeda yang dibuatkan untuk kami dirumah Bapak Mat. Seperti di Ambon juga, setelah papeda selesai dimakan, kami melanjutkannya dengan nasi dengan lauk-lauk agar makan malam semakin lengkap. Perbedaan wilayah yang cukup jauh satu sama lainnya membuat banyak kebiasaan serta keunikan yang muncul dari tiap daerah baik itu Ambon, Huaulu, dan Negeri Sepa, namun Papeda ini menurut saya menjadi penyatu dari keunikan-keunikan yang ada dari tiap daerah. Kondisi geografis, cara hidup atau cara bertinggal yang berbeda etapi memiliki jenis makanan serta cara makan yang sama, yang membuat saya merasa beruntung bisa mencicipi Papeda dari 3 Destinasi utama pada perjalanan ekskursi tahun ini. Teks oleh : Achmad Soerio H. Foto oleh : Achmad Soerio H.
1 Comment
Sama seperti 12 hari penelitian sebelumnya, jam 8 pagi tim Hahualan sudah bersiap untuk melakukan penelitian. Namun ada 2 hal yang spesial di hari ini. Pertama, pagi ini Sepa diguyur hujan sehingga kami harus mendaki hutan yang cukup curam untuk menuju Dusun Hahualan dengan menggunakan jas hujan! Kedua, hari ini kami mendapat kesempatan untuk mengikuti dan mendokumentasikan acara seserahan di Dusun Hahualan.
Sesampainya di Hahualan, ternyata acara seserahan belum dimulai dan kami diminta untuk menunggu di Rumah Perintah. Di sana, Pak Sounawe bercerita banyak tentang pernikahan, salah satunya tentang pakaian adat yang dipakai oleh pengantin pada saat acara pernikahan. Kata beliau, pakaian yang digunakan untuk pengantin wanita adalah kebaya, sarung sebagai pengganti rok, dan kain mandi sebagai penutup kepala, serta sedikit riasan wajah, sehingga terlihat berbeda dengan wanita lainnya. Sedangkan pakaian yang digunakan pengantin pria adalah sarung sebagai pengganti celana dan kain berang untuk penutup kepala. Pada saat pak Sounawe bercerita, tiba-tiba beliau berdiri dan mengambil dua buah sarung dan kain berang. Beliau kemudian memakaikan sarung dan kain berang kepada teman satu tim saya, si Guntang, dan yang membuat saya sangat terkejut adalah beliau ternyata juga menyuruh beberapa perempuan di belakangnya untuk memakaikan sarung kepada saya. Tak hanya itu, beliau juga membawakan sepiring sirih dan pinang, seolah-olah saya dan Guntang sedang dalam prosesi pernikahan adat mereka. Gelak tawa pun pecah di Rumah Perintah itu melihat pak Sounawe berlagak seperti penghulu dari saya dan Guntang dengan menyuruh kami memegang piring berisi sirih pinang. Disaat posisi saya dan Guntang sedang memainkan peran pengantin, rekan-rekan satu tim Hahualan beramai-ramai mendokumentasikan peristiwa tersebut sambil sesekali mentertawakan kami. Hahaha, sungguh peristiwa yang tak terlupakan bagi saya. Tak lama setelah itu, acara seserahan yang sesungguhnya dari pasangan pengantin di dusun tersebut akan segera dimulai. Akhirnya kami semua beranjak ke rumah Adat untuk melihat prosesi seserahan. Namun pada acara itu, mempelai pria dan wanita masih belum menggunakan pakaian pernikahan. Esok harinya, disaat hari pernikahan mereka, barulah saya melihat seorang wanita cantik dengan kebaya merah dibalik ramainya kerumunan wanita berkain yang memegang baskom berisi piring-piring seserahan. Tak jauh dari wanita itu, terdapat seorang pria bersarung yang menggunakan ikat kepala, yang pastinya merupakan calon suami dari wanita cantik tadi. Foto oleh : Elmira Zanjabila Setiap hari selama hampir tiga minggu, Tim Besar Ekskursi Seram mendatangi Dusun Rohua
dan Hahualan dari rumah keluarga angkat masing-masing yang berada di Negeri Sepa. Berjalan kaki mendaki bukit atau menempuh perjalanan lima kilometer dengan angkutan kota yang hanya lewat sekitar tiga puluh menit sekali. Keringat membasahi peluh kami setelah sehari penuh mencari data, menggambar rumah adat, memotret dan lain-lain. Kami pulang menuju rumah keluarga asuh masing-masing saat matahari terbenam. Saya bersama Dwiki, Ripin, dan Khalda memasuki rumah keluarga asuh kami, pintu dibuka, dan salam terucap dari mulut kami. Ibu Mala mempersilahkan masuk, beristirahat, dan membersihkan diri. Tak lama setelahnya, Ibu Mala memanggil kami untuk makan malam. Saya dan Khalda menghampiri Ibu Mala di dapur untuk mempersiapkan makanan dan alat makan. Dalam budaya Seram, makan malam dilakukan bersama seluruh anggota keluarga, alat makan serta beragam lauk dipindahkan dari meja ke ruang keluarga. Kami berempat bersama Ibu Mala dan Bapak Habir, duduk melingkar diatas lantai tanpa beralaskan apapun, dengan hidangan lengkap disajikan ditengah-tengah. Makan malam dimulai ketika semua orang sudah perkumpul di ruang keluarga. Lokasi pemukiman yang berada ditepi pantai membuat ikan laut menjadi lauk utama setiap malam. Para nelayan biasa menjajakan ikan kepada para tetangga atau warga sekitar Negeri dan Dusun. Malam ini, kami makan dengan lauk utama ikan kakap dan ikan tuna yang berukuran cukup besar, namun bisa dibeli dengan harga murah yakni sekitar sepuluh sampai lima belas ribu rupiah, tidak semahal harga ikan di Jakarta. Tidak ada jenis ikan yang menentu setiap harinya, apa saja yang ditangkap nelayan, bisa menjadi makan malam kami. Selain ikan kakap dan ikan tuna, terdapat juga jenis ikan yang tidak kami jumpai di Jakarta, yang biasa disebut ikan batu-batu. Ikan segar yang yang baru ditangkap, diberi sedikit bumbu perasa seperti garam dan lada, kemudian dibakar hingga matang oleh Ibu Mala. Ikan disantap bersama nasi hangat, dilengkapi sayur seperti sayur daun singkong dan rebung, juga tahu atau tempe sebagai lauk pelengkap. Menyantap ikan bakar di Rumah Ibu Mala, selalu dilengkapi dengan sambal colo colo. Sambal yang terdiri dari air yang dicampur perasan jeruk limau, irisan cabai, tomat, dan bawang merah, juga diberi tambahan kecap manis. Sambal yang cenderung lebih cair dengan rasa manis asam, memberi sentuhan berbeda saat menyantap ikan bakar yang masih segar. Kami pun makan dengan lahapnya, menghabiskan seluruh lauk pauk dan nasi yang tersedia. Sesekali berbincangan mengenaik kegaiatan hari ini. Juga sambil melihat acara TV sehingga suasana menjadi ramai. Sesuai budaya Seram, makan malam berasama baru akan diakhiri ketika semua orang sudah selesai makan, alat makan yang sudah kotor dan kosong ditumpuk dan dipindahkan ke dapur untuk dicuci. Sehingga, meskipun sudah selesai makan, kami semua tetap duduk dan menunggu sampai makanan habis. Makan malam dengan menu ikan bakar, sudah menjadi kebiasaan kami selama tiga minggu tinggal bersama, perkenalan terhadap lidah dan cita rasa Seram, juga pemersatu dari perbedaan setiap individu. Teks oleh : Nisrina Nur Septriyani Foto oleh : Nisrina Nur Septriyani Tradisi, adat istiadat, dan kepercayaan, adalah 3 hal yg tak luput hadir di setiap daerah. Setiap tempat pastinya punya keunikannya masing-masing, begitu pun dengan Suku Nuaulu yang kental akan adat istiadatnya. Ketika mendengar predikat Suku di depan kata Nuaulu, seketika saya langsung membayangkan tradisi di dalamnya pastilah masih sangat kental. Setibanya di Negeri Sepa, negeri naungan tempat suku nuaulu berada, akhirnya saya tau bahwa cuitan tentang kentalnya adat suku Nuaulu memang benar adanya. Ada banyak pamali yang telah menjadi bagian dari kepercayaan adat orang-orang suku nuaulu. Pada awalnya mungkin sebagaian dari kami hanya sekadar menghargai walaupun tidak terlalu mempercayainya. Sampai setelah hari kesepuluh mengunjungi suku nuaulu, dua orang dari kami benar benar mengalaminya.
Pagi itu seperti biasanya tim kami berpisah untuk meneliti dua dusun yang berbeda. Khusus tim hahualan, sudah 3 hari kami tidak dapat bertemu dengan kepala dusun sehingga tidak dapat masuk ke dalam rumah adat. Alih-alih mengejar data, kami yang disambut dengan kepala dusun mencoba meminta izin untuk memfoto rumah adat dari luar. Izin akhirnya diberikan, kami kemudian berkeliling ditemani seorang pemuda yang sudah cukup akrab dengan beberapa dari kami. Sebagai salah satu anggota yang bertugas mengambil foto,saya sempat ragu untuk mengarahkan kamera ke rumah adat. Menurut kepercayaan rumah adat bukanlah sembarang rumah, kami perlu izin dari sang ketua adat untuk memasukinya. Setelah mencoba meyakinkan sekali lagi bahwa kami telah diizinkan untuk memotret, akhirnya saya dan salah datu dari anggota tim lainnya berusaha mendokumentasikan rumah adat dan rumah kapitan yang sama sakralnya. Disela sela kami memotret, salah satu kamera dari teman kami tiba tiba saja error, semua foto menghilang dan hanya menyisakan beberapa foto rumah yang sebelumnya diambil. Tidak ada rasa curiga atau khawatir, mungkin hanya error biasa pikir kami saat itu. Selang beberapa waktu, saya mencoba mengambil foto rumah kapitan yang letaknya bersebelahan dengan rumah adat. Hanya beberapa langkah saya berpindah dari sisi satu ke sisi lainnya, kamera saya tiba tiba saja mati total ketika sedang mencoba mengarahkannya untuk mengambil foto rumah ini. Beberapa kali saya berusaha mengecek kamera dibantu dengan teman teman lainnya, tapi kamera saya nyatanya benar benar mati total dalam kondisi baterai penuh. Sontak kami berpikir, apakah dua kamera tiba tiba mati dalam waktu berdekatan ketika mengambil foto rumah kapitan adalah sebuah kebetulan? Selepas kejadian itu, kami akhirnya menyempatkan untuk bertemu dengan sang ketua adat dan memohon maaf sebelum kami meninggalkan pulau Seram. Setelah kejadian ini, kami bukan saja lebih menghargai pamali yang ada di tengah suku ini, namun juga lebih terbuka pikirannya atas kemungkinan terjadinya hal hal yang sebelumnya tidak sejalan dengan nalar. Teks oleh : Khalda Fadhilah A. Foto oleh : Khalda Fadhilah A Pagi itu sekitar jam 10, saya sedang beristirahat di suatu gubuk di depan rumah salah satu warga Rohua yaitu Rumah Pak Surya, setelah saya berkeliling mencari foto yang saya perlukan untuk memenuhi data. Pada saat itu Pak Surya juga sedang bersantai di gubuknya lalu saya bertanya kepada Pak Surya, darimana asal nama “Rohua”, Ia langsung menjawab bahwa asal nama Rohua diambil dari nama mata air yang memberi dusun tersebut sumber air, Pak
Surya juga memberi tahu saya bahwa lokasi mata air tersebut tidak terlalu jauh dari tempat kami beristirahat dan Pak Surya langsung mengajak saya untuk melihat mata air tersebut. Akhirnya, saya seorang diri ditemani Pak Surya langsung menuju ke mata air yang dijadikan nama dusun ini, yaitu Mata Air Rohua. Lokasi Mata Air Rohua sedikit masuk ke dalam hutan bagian Timur Dusun Rohua. Perjalanan kami tempuh sekitar kurang lebih 20 menit. Medan yang dilalui sedikit menanjak dan licin dikarenakan melewati aliran-aliran sungai yang juga bersumber dari mata air tersebut. Pak Surya sangat lincah dan cepat ketika berjalan, sementara saya masih sedikit kesusahan melewati medan tersebut, mungkin karena Pak Surya sudah terbiasa, Ia juga sedikit tersenyum ketika melihat saya hampir terpeleset. Pemandangan selama perjalanan juga masih sangat asri, pohon-pohon tinggi dan juga rerumputan hijau memenuhi area ini. Tidak terasa kami sudah sampai, air pada Mata Air Rohua mengalir dengan tenang dan juga sangat jernih, saking terlihat segarnya, saya dan Pak Surya mencuci muka di air tersebut. Beberapa menit kami habiskan dengan hanya menikmati suasana alam yang ada pada hutan tersebut dilengkapi dengan suara air mengalir tenang dari mata air tersebut. Akhirnya saya melihat sumber air dari dusun Rohua, dimana airnya sangat bersih dan menyegarkan, dan dari sinilah nama dusun ini berasal, Mata Air Rohua untuk Dusun Rohua. Teks oleh : Naufal Mahdyan Risky Foto oleh : Naufal Mahdyan Risky Pada tanggal 27 Juli kemarin, sebuah rumah yang dijadikan dapur umum terlihat ramai.
Orang-orang sedang sibuk sekali memasak alu-alu. Alu-alu adalah makanan yang dibuat dari olahan kacang-kacangan dan biji kenari. Pada awalnya, kacang-kacangan di sangrai terlebih dahulu. Ini bertujuan agar kulit kacang menjadi mudah terkelupas. Setelah itu kacang-kacangan diayak agar terkelupas dalam jumlah yang besar dan cepat. Kacang-kacang yang sudah terkelupas itu kemudian dikumpulkan dan setelah itu ditumbuk dan dijadikan adonan. Adonan ini kemudian dimasak dengan cara diselipkan di antara lipatan kulit pisang lalu dibakar. Setelah dibakar, kulit kacang dikeringkan sehingga menghasilkan alu-alu. Alu-alu ini menjadi salah satu makanan ringan yang dihidangkan kepada tamu dari acara pinamou. Salah satu hal unik ketika memasak alu-alu ini, pekerjaan yang dilakukan dilaksanakan secara bergotong royong. Ada bagian yang sangrai, ada bagian yang mengelupas, dan ada bagian yang membakar alu-alunya. Kegiatan ini menjadi lebih asyik dikarenakan pada keesokan harinya, ada warga yang membawa radio dan speaker sehingga acara masak memasak kami diiringi dangdut dan joget-joget spontan. Teks oleh : Ferdinand Teguh Hari itu hari yang ditunggu, setelah 24 hari berada dalam ruang dengan keterbatasan. Dia Desi,
tapi tidak hanya Dia, sahabatNya, rekanNya, keluarga besarNya, bahkan kami yang terbilang bukan siapa-siapa ikut menantikan momen itu. Segalanya telah dipersiapkan, untuk momen di hari itu, hari dimana Desi ditetapkan telah beranjak dewasa. Pagi itu, asap putih keluar dari sela-sela atap kayu di sebuah rumah batu yang diiringi dengan senandung obrolan ibu-ibu. Aromanya manis.. atau gurih? Seperti kacang dengan sedikit gula yang dibakar. Yang benar saja, para ibu itu sedang membuat alu-alu, sebuah jajanan khas suku nuaulu, kali ini khususnya di dusun Rohua, marga Matoke. Rasanya penasaran, terintip 3 orang ibu dengan lincah mengipas bakaran bungkusan daun pisang yang dihimpit dengan batu diatas tungku sederhana berbahan kayu bakar. Ikan-ikan dan menu santapan besar lain telah tertumpuk rapih di beberapa sudut ruangan, akan berapa banyak orang yang datang? Hari berlalu, satu persatu hidangan telah matang dan siap santap tertumpuk dengan rapih, begitu pula satu persatu ibu telah pergi meninggalkan rumah itu. Sedangkan dia masih menunggu, di tempat yang bisa dibilang rumah sementara bagiNya, Posune namanya. Dia Desi, dengan hanya dibalut kain batik yang telah menempel pada tubuhnya selama 24 hari. Mungkin rasanya deg-degan, takut, atau tidak sabar? Tidak bisa terbayangkan, belum pernah dari kami merasakan rasanya terkurung dalam rumah kecil dalam kesepian. Apakah menyakitkan, atau mungkin itu sebuah kehormatan sebagai bentuk pengabdian untuk oyang yang diagungkan. Matahari berada di seperempat langit, alat mandi diantarkan oleh kedua IbuNya, iya, Ibu marga dan Ibu kandungNya. Kerabat, tetangga, dan teman sudah siap menyaksikan Dia yang akhirnya keluar dari tempat itu, sebagai orang dewasa. Akhirnya Dia mandi, dengan disaksikan belasan kerabat dan kami. Itu sekelompok wanita, tentu mata lawan dilarang untuk melihat, namun apa rasanya mandi dilihat banyak mata? Apapun itu, yang dapat kami tangkap adalah rasa bahagia di matanya. Air pertama mengalir dari bambu yang diangkat oleh kedua Ibu, membasahi dari ujung kepala berlanjut hingga ujung kaki. Dia terjongkok sembari memeluk kakinya, badanNya bergetar, sudah berapa lama tidak merasakan sejuknya air? Kami melihat hingga ikut merasakan tubuhNya yang sedikit tersiksa, sepertinya rasa malu sudah tidak terlintas. Kami melihat dan kami bangga, Dia yang sudah melewati kesepian, kini berjuang menahan rasa dingin yang amat sangat, tapi dia kuat, dia sudah dewasa. Baju upacara pun dikenakan ke tubuhnya, kunyit yang telah ditumbuk dilapisi ke kulitNya, kali ini Dia telah siap. Rumah adat marga Matokke, matahari berada pada tengah langit, kami semua mengantarNya kesana. Suara kemerincing lonceng di setiap langkah kakinya melantunkan irama yang mencuri perhatian orang yang dilewati, ‘wah ada gadis matang baru di dusun ini!’. Mata-mata melirik, tapi mataNya idak membalas, hingga sampailah di tempatnya. Kaki kecil melangkah menaiki kayu menuju pintu rumah adat Matokke, hingga tiba diujungnya. Telah berdiri sosok kepala marga yang dituakan, Beliau siap menghantarkan doa untukNya. Doa dibisikan, dan dia pun masuk, kami pun juga begitu, dan kedua mata yang ada saling memandang, bukan bertatapan. ‘Aah ini dia si gadis sudah datang’ mungkin menjadi pikiran mereka para lawan yang ada di dalam, sedangkan kami yang baru datang? ‘Woww! Ini semua ikutan??!’. Kami pun duduk Bersama, dengan suguhan rokok, permen, dan sirih pinang dalam sebuah piring, satu piring teruntuk 4-6 orang tamu. Dengan ditemani senda gurau, kami membaur, bersirih pinang bersama, dan merokok. Pamali katanya jika piring itu dikembalikan dalam keadaan masih berisi, yasudah, dengan senang hati. Lalu terbesit satu pertanyaan dalam pikiran kami, kemana alu-alu dan ikan yang kemarin? Waktu berlalu begitu cepat, matahari sudah berada pada seperempat akhir di langit, sayangnya kami tidak bisa mengikuti acara malam yang justru dinanti. Sebelum kembali, tersontak tawaran dari Bapak matue muye untuk merekamnya bernyanyi bersama teman-temannya yang masih merupakan kerabatNya. Kami jelas mengiyakan, Kapan lagi ada mini konser seperti ini? Lalu kami duduk melingkar bersama, para Bapak menyanyi dan kami? Jelas mengabadikan. Lantunan lagu berbahasa nuaulu terdengar syahdu bersama suasana terbenamnya matahari, di teras rumah Matokke. Simfoni menghapus waktu, lagu tentang Rohua, tentang panen cengkeh,…..dll, tidak ingin kembali rasanya. Lalu kalian pasti bertanya-tanya, dimana Desi? Dia disini, bersama kami dan teman-temannya yang lain, Rumah marga Matokke, dengan masih mengenakan pakaian upacaranya yang tidak akan dilepas hingga prosesi selesai, kapan? Masih nanti, 2 hari lagi. Beginilah gambarannya, acara Pinamou hari pertama, untuk kami para kerabat, dan untuk dia, wanita yang beranjak dewasa. Dia Desi, gadis baru dusun Rohua. Teks Oleh : Aisyah Nur Faidah Foto Oleh : Aisyah Nur Faidah Bapak Touissa Matoke merupakan seorang Tuan Tanah sekaligus Kepala Marga dari marga Matokke.
Beliau merupakan orang yang paling sering Kami wawancarai karena Beliau bisa dikatakan sebagai orang paling mengerti seputar marga Matokke. Di pagi hari kami mulai melakukan wawancara dan meneliti rumah Matokke dan Bapak Touissa sudah menunggu kehadiran Kami di Pagi hari di bagian depan rumahnya sambal mengunyah sirih pinang dan sembari minum teh dengan menikmati segarnya angin yang melewati rumah Beliau. Tingginya teras Beliau menyebabkan dari kejauhan Kami sudah bisa melihat Bapak Touissa sedang bersantai dirumahnya, lalu dari kejauhan Kami mulai mendekati Beliau dan Kami langsung menyapanya dan izin untuk memasuki rumah sekaligus berbincang bersamanya. Bapak Touissa merupakan seorang yang sangat humoris meskipun kadang ada beberapa perkataan yang Kami tidak mengerti namun Kami tahu bahwa Bapak Touissa selalu ingin suasana yang Beliau alami tenang dan santai. Beliau selalu mulai dengan menanyakan kabar Kami apakah Kami senang di Dusun Rohua atau tidak, dan ketika Kami cerita Beliau dengan sangat perhatian selalu memperhatikan Kami dengan seksama sehingga Kami pun berbicara dengan Beliau menjadi semangat. Beliau banyak menceritakan Kami seputar Marga Matokke dan Suku Nuaulu, meskipun di usia yang sudah cukup tua Beliau masih mampu mengingat tentang pengetahuan Suku Nuaulu sehingga Kami sangat senang ketika sedang wawancara dengan Beliau. Beliau merupakan Orang yang sangat ramah terbukti dari banyaknya Orang yang Beliau sapa ketika melewati Rumah Bapak Touissa dan juga Beliau terkenal sangat bijak dalam menghadapi masalah sehingga Beliau dipercaya menjadi Tuan Tanah di Dusun Rohua. Kami pun tidak hanya mewawancarai Beliau saja tetapi Beliau pun juga mewawancari Kita seputar kehidupan masa kini yang terjadi di Jakarta sehingga Beliau pun jadi tahu dan update tentang apa yang terjadi di masa kini. Dengan sifat sharing ilmu antara Kami dan Bapak Touissa menyebabkan hubungan Kami berlangsung baik dan asik, sehingga tiada ragu diantara Kami untuk bercerita dengan Bapak Touissa. Suatu hari cuaca sedang hujan deras sehingga Kami harus berteduh di suatu tempat lalu Saya bersama Naufal dan Irvan berteduh di rumah Bapak Touissa, hujan yang deras dari pagi sampai sore menyebabkan Kami harus berteduh sepanjang hari dirumah Bapak Touissa termasuk ketika makan siang, bekal yang sudah Kami siapkan Kami santap di rumah Bapak Touissa. Lalu Kami siapkan bekal Kami dengan bersama Bapak Touissa, sayangnya Bapak Touissa tidak biasa makan siang sehingga Beliau menolak makanan Kami. Lalu setelah Kami selesai makan ternyata Beliau biasanya merokok sehingga Kami Sharing rokok dan merokok bersama dengan Bapak Touissa. Disini Kami merasakan perbedaan ketika Bapak Touissa sedang serius terhadap topik wawancara tertentu dengan ketika Kami bersantai dan merokok bersama. Beliau menjadi seperti orang yang sangat berbeda dan sangat ramah sehingga Kami sangat menikmati momen bersama dengan Bapak Touissa. Selang beberapa menit kemudian tetangga dari Bapak Touissa datang dan ikut menimbrung obrolan bersama Kami sehingga suasana menjadi lebih asik dan seru. Saya, Naufal dan Irvan merasakan kehangatan dari Masyarakat melalui Bapa Touissa yang cukup ramah dan cukup merepresentasikan masyarakat Dusun Rohua. Teks Oleh : Fahmi Arifin Foto Oleh : Aisyah Nur Faidah |
JurnalJurnal ditulis oleh para anggota Tim Besar Ekskursi Arsitektur UI yang menceritakan tentang pengalamannya di wilayah ekskursi. ArchivesCategories |