Hutan dapat dikatakan sebagai sumber mata pencaharian utama dari masyarakat Dusun Rohua.
Tidak berbeda dengan Bapak Manu Sounawe, yang merupakan Kapitan Marga Sounawe. Bapak berumur 40-an ini, memiliki kebun di hutan yang ia gunakan sebagai sumber pendapatan tambahan dan juga sebagai bahan pangan pribadi. Di pagi hari yang cerah itu, saya bersama 3 teman saya lainnya yaitu Husni, Icha , dan juga Salmahira diajak untuk mengunjungi kebun milik Bapak Sounawe. Dimulai dengan kami mempersiapkan diri dan juga Bapak Manu mengambil peralatan berkebunnya seperti sepatu boots dan juga parang panjangnya. Perjalanan dimulai dengan berjalan menuju jembatan besi yang berada di timur dari dusun Rohua, beberapa puluh meter setelah melewati jembatan ini kami pun sampai di pintu masuk hutanya yang ditandai dengan adanya jalan setapak yang lebarnya hanya untuk satu orang saja. Selama perjalan banyak sekali orang-orang yang kami temui, dan kebanyakan orang disana pun entah sedang mengambil kelapa atau sedang membuat kopra (kelapa yang diasapi). Memang komoditas utama dari Dusun Rohua sendiri adalah Kopra. Meskipun adanya jalan setapak, kontur tanah dan juga kerapatan hutan menjadi semakin curam dan padat. Terlihat juga bahwa Bapak Manu dengan mudahnya mendaki bukit tersebut disbanding dengan saya dan 3 teman lainnya yang sempat lelah padahal belum lama mendaki. Matahari pun mulai terik, saya dan 3 teman saya pun sudah mulai lelah, namun kebun pak Manu pun sudah tidak jauh lagi. Akhirnya kami pun sampai di puncak dari bukit tersbut dan dari titik itu kami dapat melihat hutan yang sangat luas dan juga kami dapat melihat laut yang ada di selatan pulau seram. Di puncak tersebut memanglah sangat curam, namun Bapak Manu menyuruh kami untuk istirahat terlebih dahulu dan mencarikan kami minum. Bapak Manu pun memanjat pohon kelapa yang tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Ia memanjat tanpa menggunakan sepatu bootsnya, dan gerakan lincahnya mebuat ia sampai di atas pohon dalam hitungan belasan detik. Ia pun membawa 4 buah kelapa dan membukanya dengan menggunakan parang yang dibawanya. Di puncak itu kami menikmati kesegaran air kelapa murni dan juga pemandangan bagian selatan Pulau Seram. Selama kira – kira 15 menit kami berisitirahat dan akhirnya melanjutkan perjalanan. Pada akhirnya, kami hanya melihat dan melewati kebun Pak Manu yang ditandai dengan adanya sebuah saung sederhana. Disaat perjalanan pulang pun kami melewati jalan “Perusahaan”. Jalan “Perusahaan” ini merupakan jalan yang dibuat oleh perusahaan kayu asal pulau Jawa. Perusahaan ini sudah ada selama beberapa tahun menggantikan perusahaan kayu yang dulu dimiliki oleh Filipina. Bapak Manu pun bercerita tentang perusahaan ini, kemunculan perusahaan ini sendiri menimbulkan pro kontra di Dusun Rohua. Dusun Rohua sendiri memang bukan Dusun yang berada, kebanyakan dari masyarakat dusun juga memiliki 2 pekerjaan seperti Bapak Manu yang bekerja di Koperasi Masohi juga, disamping menjadi Kapitan Marga Sounawe. Bapak Manu sendiri sebenarnya tidak setuju dengan adanya perusahaan karena mengambil lahan mata pencaharian dari masyarakat dusun Rohua. Tidak bisa dipungkiri memang hutan sebagai komoditas utama dari masyarakat Rohua, dan bagaimana kuatnya masyarakat Rohua bergantung terhadap hasil hutan. Adanya juga penggantian rugi terhadap hutan ini bisa dikatakan tidak adil, dikarenakan porsi pembayaran yang tidak sesuai kepada Dusun Rohua. Namun sebenarnya, dengan adanya perusahaan terbukalah lapangan pekerjaan bagi masyarakat Rohua. Meskpun gajinya tidak seberapa, namun penghasilan yang didapatkan pun stabil tidak seperti pendapatan dari hasil hutan yang cenderung lebih tidak menentu. Bapak Manu sendiri sebenarnya memiliki mimpi untuk membuka usaha sendiri, dapat dilihat juga di rumahnya ia sudah membuka sebuah warung yang sangat sederhana. Namun warung tersebut masih sangat sederhana, menghitung jumlah barang dan stok yang dijual di warung tersebut. Setelah berbincang cukup lama tidak terasa bahwa sebentar lagi kami akan sampai di Jalan Trans Seram, menandakan perjalanan pulang kami menuju Dusun Rohua sebentar lagi akan selesai. Ternyata alur perjalanan kami cukup Panjang, kami mengitari Dusun Rohua melewati bukit dan hutan. Kami berangkat dari Timur dan pulang dari Barat Rohua. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan ini, saya dan 3 teman saya lainnya pun berpamit dan berterima kasih kepada Bapak Manu telah mengantarkan kami keliling hutan. Di siang menjelang sore itu pun akhirnya kami kembali ke rombongan dan beristirahat. Teks Oleh : Albertus Bramantya Wijaya
0 Comments
Perjalanan di Dusun Hahualan hari ini menemui titik terang, dimana kami diperbolehkan
untuk ikut serta dalam penanaman bibit pohon cengkeh di hutan marga leipari. Kami berenam, Amira, Guntang, Rian, Salsa, Khalda dan Tito, mencoba mendokumentasikan bagaimana penanaman dan batasan antar hutan pada hutan marga tersebut dibuat dan ditunjukkan. Hal ini kami ikuti karena kurangnya pendokumentasian mengenai kegiatan berkebun yang terjadi disekitaran Dusun Hahualan. Kebetulan kami ditemani oleh pemuda dari Dusun Hahualan yang bernama Pice, yang menunjukkan jalan melalui hutan belantara hingga sampai kehutan marga keluarganya, ia duduk dikelas 3 SMA dan akan melanjutkan pendidikannya kedunia perkuliahan kedepannya. Untuk sekarang ini dia mengambil keputusan untuk gap year untuk mempelajari kembali kebudayaan dari Dusun dia. Ketika kami akan memulai perjalanan kami tanya, berapa jauh untuk sampai ke hutan marga tersebut dan Pice pun menjawabnya dengan santai “buat kita mah paling 5 menit dari sungai onana”. Sungai onana merupakan sungai yang apabila menggunakan otto dapat memakan waktu 5 Menit dari depan Masjid Raja Sepa. Kami pada awalnya tidak mempercayai bahwa waktu tempuh dari sungai onana akan sesingkat 5 menit, karena ketika kami menanyakan jarak Dusun Hahualan ke Desa Sepa kepala Dusun Hahualan-Latan bilang bahwa hanya 1 menit jarak tempuhnya, padahal yang aslinya ketika kami menjalaninya lebih dari 15 menit untuk sampai Dusun Hahualan. Sehingga kami sudah mengantisipasikan perjalanan yang panjang kedepannya. Kami berenam awalnya berkumpul di rumah Guntang yang tidak jauh dari Masjid Raja, untuk menunggu otto. Setelah akhirnya kami menaiki otto, kami langsung menuju sungai onana. Sesampainya di sungai onana kami langsung diajak berjalan melalui sungai yang sudah kering karena tidak ada hujan yang turun beberapa hari disini, namun lambat laun kamu berpindah dari yang tadi sungai menjadi kebun kelapa, yang kemudian berubah lagi menjadi kebuh sagu. Ketika mencapai ujung dari kebun sagu kami akhirnya sampai pada batas hutan marga leipari atau marga dari keluarga Pice. Dari sana medan yang kami lalui sudah menjadi lebih sulit dari yang kami kira karena jalanannya sudah mulai menanjak, kanan kiri sudah jurang yang sedalam 10 meter, ditambah jalan setapak yang kami lalui sudah cukup licin dan sulit untuk dilalui. Ketika menanjak kami juga harus menarik tanaman-tanaman sekitar hanya untuk dapat naik. Ketika sampai ditempat untuk menananm bibit cengkeh kami ditunjukkan kepada suatu tempat dengan tanam yang cukup gembur sehingga menyulitkan kami berenam untuk mengambil data disana, namun Rian dan Tito masih mencoba untuk mendokumentasikan keadaan disana dan Amira dengan Guntang melakukan wawancara kepada Pice. Setelah kami selesai menyaksikan penanaman bibit tersebut, kami pun kembali menuju sungai onana. Ketika dalam perjalanan turun kami melihat ada sekelompok burung parkit berwarna merah yang terbang meenjauhi kami. Dalam perjalanan juga kami menghampiri sebuah pohon kelapa dengan banyak kelapa pada batangnya, keadaan kami yang kelelahan dan kepanasan menyebabkan kelapa tersebut terlihat sangat enak untuk diminum sehingga Pice pun dengan senang hati memanjat menaiki pohon dan mengambilkan beberapa buah kelapa dan akhirnya ia pun membukakannya untuk kami. Kami pun membagi air dan daging kelapa tersebut. Rasanya ketika air kelapa itu turun membasahi tenggorokan itu sangat melegakan mengingat perjuangan perjalanan Panjang yang sudah kami lalui. Teks oleh : Fachrian Nabil Fauzi Foto Oleh : Fachrian Nabil Fauzi Suku nuaulu memiliki cara tersendiri dalam memperlakukan seorang wanita. Suku nuaulu dengan animisme yang masih dianut membuat partriarki dalam kebiasaan sehari-hari terasa kental. Contohnya dalam memperlakukan wanita yang sedang menstruasi mereka memiliki semacam rumah tersendiri bernama posune yang dibuat khusus untuk wanita yang sedang dalam masa menstruasi, wanita yang akan melahirkan, dan wanita yang sedang dalam fase nifas karena dianggap tidak suci. Begitu juga dengan urusan dapur dan mencuci semua ditanggung-jawabkan kepada wanita, sedangkan laki-laki akan selalu sibuk di hutan dan mencari bahan makanan
Hal menarik terjadi pada salah satu perempuan dari kami di hari pertama ia datang ke dusun Rohua di hari kedua ia menstruasi, saat kami hendak memasuki salah satu rumah adat tiba-tiba tangan perempuan itu ditarik oleh ketua adat dan beliau berkata “kamu sedang tidak suci ya? Kamu tunggu di luar saja ya” (dalam Bahasa nuaulu) sontak ia kaget beliau berkata seperti itu, tahu darimana beliau kalau ia sedang tidak suci, akhirnya ia pun mengikuti perkataannya dan hanya menunggu diluar. Ternyata para ketua adat di suku Nuaulu memang dapat membedakan perempuan yang sedang menstruasi hanya dengan melihat fisiknya saja. Setelah kejadian itu, kepala Dusun Rohua langsung memerintahkan kepada salah satu dari tim kami untuk tidak memperbolehkan perempuan yang sedang mentruasi untuk datang ke Dusun Rohua, aturan itupun terjadi di Dusun Hahualan, Dusun Latan, dan Dusun Bunara. Konon katanya, jika saat itu ada peremuan menstruasi memasuki rumah adat ‘penjaga’ rumah tersebut atau yang biasa mereka sebut oyang dapat mencelakai saya jika perempuan tersebut sudah pulang. Dalam berpenampilan, perempuan yang sudah menikah harus memakai kain sebagai penutup badan bagian bawah yang menjadi penanda mereka telah dimiliki seseorang, gigi yang dikikir sampai rata juga sebagai penanda bahwa ia telah menstruasi. Perempuan yang baru memasuki menstruasi pertama juga memiliki ritual khusus yang bernama pinamou sebagai simbolik perempuan sana yang telah dianggap dewasa. Pinamou menjadi momen penting bagi perempuan disana karena hanya dilakukan satu kali seumur hidup di saat mendapat menstruasi pertama, sehingga acara pinamoubiasanya sangat meriah dan mengundang banyak orang serta hiburan-hiburan seperti music. Perempuan memiliki Batasan-batasan dalam beraktivitas namun memiliki privilege yang cukup penting dalam urusan rumah tangga dan adat. Tidak kalah penting dibandingkan laki-laki. Mereka terbiasa disiplin dan mandiri, tidak jarang perempuan disana ikut para lelaki berkebun, sehingga mereka memiliki banyak keahlian dalam menunjang kehidupan. Teks oleh : Nurul Afifah Foto oleh : Nurul Afifah Malam itu, saya pulang ke rumah Bu Emy dengan badan pegal-pegal. Bu Emy, ibu asuh saya, menyambut saya & Salsa dengan hangat, ia mengatakan bahwa makan malam sudah siap. Saya dan Salsa masuk ke kamar dan bersih-bersih diri untuk makan malam bersama. Hari itu, saya merasa lelah sekali. Bagaimana tidak? Baru tadi sore, saya dan tim Rohua melepaskan penat setelah seharian mengambil data dengan berenang di pantai Dusun Rohua. Sesekali bermain di pantai berpasir hitam itu dengan anak-anak Dusun Rohua sambil menikmati matahari terbenam.
Setelah menunggu senja tenggelam, kami bergegas menuju rumah Bu Surya untuk membersihkan diri dan meneguk secangkir teh hangat. Tak lama setelah itu, kami mendengar suara adzan berkumandang yang menandakan kami harus pulang ke Sepa dengan oto (angkot) langganan kami. Rohua dan Sepa terpisah kurang lebih sejauh 5 km. Perjalanan kami balik ke Rohua ditemani dengan lagu-lagu Ambon yang abang supir oto kami pasang di mobil. Dikiri kami terlihat laut yang luas dan biru, dengan langit yang mulai gelap mendampinginya. Sesampai nya dirumah, dan bersih-bersih, saya dan Salsa makan malam dengan Bu Emy. Layaknya seperti hari-hari sebelumnya, kami menceritakan pengalaman kami di hari itu sambil menyantap makanan Bu Emy yang masakannya sangat mengingatkan saya akan rumah. Bu Emy mengatakan bahwa orang Sepa biasanya menghilangkan pegal-pegal dan letihnya dengan menggunakan daun gatal. Ia mengeluarkan sekaret daun gatal yang akan ia gunakan. Sambil menselonjori kedua kakinya, ia mulai mengusap-ngusapkan lembar demi lembar daun tersebut. Saya pun bingung, apa efek dari daun gatal itu. Ternyata, lama kelamaan kaki bu Emy memerah dan bentol-bentol muncul di kakinya. Katanya, bentol-bentol itu wajar dan justru keluar jika orang tersebut sedang capek sekali. Tapi, kata Bu Emy, sesuai dengan namanya, daun gatal itu memang membuat sangat gatal dan sedikit seperti digigit semut. Bu Emy menawarkan untuk mengusapkan daun gatal itu ke saya. Saya sedikit takut, namun akhirnya saya pun mencoba. Rasanya aneh sekali. Memang sangat gatal dan seperti digigit semut, namun anehnya, saya suka. Saya ambil 1 lembar sendiri dan mengusapkannya ke kedua kaki saya. Saya ingin sekali menggaruk kaki saya karena gatal, tapi Bu Emy bilang jangan karena nanti justru akan membekas. Sensasi aneh ini memang membuat nagih, tidak heran bila Bu Emy dan orang-orang Sepa lainnya sangat suka. Begitu juga suaminya, Pak Usman. Ia bilang, jarang sekali orang Sepa ke dokter atau puskesmas, karena banyaknya pengobatan herbal dengan dedaunan yang mereka ambil dari alam sekitar dan gunakan untuk berbagai pengobatan. Sambil mengusap daun gatal, kami mengobrol-ngobrol dan bercerita dengan Bu Emy sampai larut malam. Ia juga bercerita dan bernostalgia tentang suaminya, yang tinggal di Kobi dimana ia bekerja sebagai dosen. Semakin larut malam, cerita-cerita kami makin seru, dan kaki saya pun semakin tidak pegal, berkat daun gatal yang unik ini. Teks Oleh : Anissa Pramesti R Foto Oleh : Aisyah Nur F. Orang-orang di Pulau Seram, Maluku, mempunyai cara menggunakan dan kepercayaan tersendiri akan daun. Percaya tidak percaya, bukannya untuk dimakan, dedaunan di pulau ini dipercaya memiliki khasiat-khasiat tertentu bila digunakan dengan cara-cara tertentu. Dedaunan sendiri merupakan hal yang sangat mudah ditemukan di seluruh penjuru pulau. Hal ini karena hutan merupakan sumber kehidupan pertama di Pulau Seram. Berbagai macam daun dapat ditemui dan bentuknya pun bervariasi. Ada daun yang berukuran sangat kecil, cukup kecil (dengan panjang 6-8 cm) dan ada juga daun-daun yang berukuran besar, yaitu bisa mencapai 2 kali ukuran telapak tangan.
Suatu hari, kami sebagai pendatang di Pulau Seram, diajak untuk berwisata ke salah satu pantai terbaik di pulau ini. Dengan menaiki otto, saya, Icha, Dwiki, Ina, Khalda dan Ripin sudah bersiap saat matahari belum nampak di pucuk mata. Bu Emmy, Pak Usman, Bu Mala dan Pak Habir pun tidak lupa ikut berwisata dengan kami. Dengan bersemangat kami menyiapkan berbagai bekal untuk dibawa, termasuk yang kami bawa adalah termos hingga tikar lipat, kami disupiri oleh salah satu warga Seram. Waktu menunjukkan pukul 8 dan kami memulai perjalanan. Menaiki otto di Pulau Seram merupakan pengalaman baru. Otto adalah mobil angkutan umum, atau angkot, yang merupakan alat transportasi massal utama di Seram. Biasanya otto akan lewat dibarengi dengan musik dangdut yang bertalu keras untuk memanggil orang-orang datang naik otto. Sopir yang selalu ‘bersemangat’ menyetir ngebut ditambah jalan yang lengang lega seringkali membuat perut kami dikocok tak tertolong. Dengan musik bermain, obat anti mabuk terlahap masuk perut dan mata yang dipaksa terpejam, kami mencoba melawan mabuk di jalan. Setelah beberapa lama tertidur, tiba-tiba ditengah perjalanan terdengar suara tidak biasa, “HOEEEK”. Di barisan tengah otto. terlihat teman kami Khalda tidak mampu menahan rasa mual itu. Siapa sangka, akhirnya telur pecah juga. Khalda tidak mampu menahan rasa mual tersebut. Pak Habir dengan sigap teriak, “berhenti! berhenti!”. Beliau segera langsung turun dari mobil, terlihat ia telah masuk ke hutan. Selang beberapa menit, Pak Habir kembali muncul membawa daun setumpuk banyak dan membagikan kami satu persatu daun tersebut. Saya dan teman-teman pun menerima dedaunan tadi dengan bingung, “buat apa, Pak?”. Sambil duduk sendiri di atas daunnya Pak Habir menjawab, “Taruh daunnya di bawah kamu, kalian dudukin daunnya. Nanti kalian gak mual”. Kami mengangguk bingung. Percaya tidak percaya, daun kami duduki dan melanjutkan perjalanan yang panjang, berkelok-kelok panas dan melelahkan. Perjalanan kami yang panjang tadi akhirnya berbuah manis. Kami tercengang sesaat setelah sampai di tujuan. Mata terbelalak melihat air laut sebening kaca berwarna biru kehijauan. Pasir putih basah menyambut kami hangat bersama ikan yang berenang kesana kemari dan kapal-kapal berwarna serupa termangu di bibir pantai. Sejenak kami lupa mual perut, mabuk darat dan dedaunan Pak Habir. Teks oleh : Sayyidati Cahyani Salsabilah Foto Oleh : Aisyah Nur F. Bangsa ini sangat beruntung, tanah Maluku memiliki sepak bola yang bergulir di dalam darah setiap pemuda bahkan pemudinya. Melihat ke sisi manapun akan menjumpai irama bola yang mengiringi tarian indah kaki-kaki kecil, begitu pula hentakan dan ayunan tegas yang menyongsong matahari timur Negeri ini. Sudah bukan seperti olahraga ataupun pengisi waktu luang, sepak bola telah menjadi bagian dari kehidupan disini. Bukan hanya tentang berlari dan berkeringat, melainkan jauh lebih dalam daripada itu.
Di sana mereka tidak perlu menyewa lapangan ataupun mencari-cari tempat yang layak untuk bermain bola. Pagi, siang, sore, tidak menjadi masalah. Di tanah kering, di tanah pasir, ataupun di atas aspal juga tidak menjadi masalah. Tidak ada peraturan dan larangan untuk bersenang-senang bersama sepak bola. Bersyukur sekali saya dapat menari bersama teman-teman kecil di Dusun Hahualan. Tidak ada keraguan bagi mereka untuk mengajak dan bermain bersama orang yang baru mereka kenal. Bagi mereka, bola itulah yang menyatukan perbedaan diantara kami, diantara kita. Menghapus batas, menawarkan persahabatan. Memasuki bulan Juli, saatnya negara-negara bertanding memperebutkan gelar paling bergengsi empat tahun sekali. Di Sepa banyak sekali tempat untuk kita dapat menikmati bersama-sama pertandingan seru setiap harinya. Televisi di bawah pohon, di dalam warung, ataupun di samping bengkel motor menjadi santapan setiap malam selesai beraktivitas di siang hari. Menikmati sepak bola seperti ini bukan tentang melihat rumput hijau dan merayakan kemenangan, melainkan bersandar pada hangatnya tegukan kopi dalam dinginnya angin malam bersama kolega terdekat. Malam selasa saat itu malam yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya duduk bersama Bang Fais, abang di rumah yang saya tinggali di Sepa, dan temannya. Di kursi depan rumah seraya menatap cerahnya bintang kala itu kami berbincang dan Bang Fais bercerita banyak hal. Dari cerita lucu, horor, hingga cerita tentang kompetisi sepak bola pemuda yang selalu diadakan setiap tahunnya di lapangan depan rumah kami. Malam ini malam yang penting untuk pertandingan penentu pemegang takhta untuk empat tahun ke depan. Waktu menunjukkan hampir tengah malam, saya bersama Bang Fais, Tito, Fadlan, Rian, dan Nurul, anak-anak yang tinggal di rumah Bang Fais, bergegas menuju tempat nonton bareng dekat Masjid Raya Sepa. Banyak sekali warga berkumpul dalam gelapnya malam untuk duduk di tengah jalan aspal menatap layar dari projector. Di tengah pertandingan tiba-tiba listrik di Sepa terputus sehingga kami semua tidak dapat menonton pertandingan yang sedang berlangsung. Hal ini lumrah terjadi ketika kami tinggal di Sepa dan akan tersambung kembali dalam beberapa saat. Hingga pertengahan babak kedua barulah listrik kembali tersambung dan semua mata kembali menyaksikan pertandingan itu. Pukul dua dini hari WIT sampai Perancis tuntas menumbangkan Kroasia baru kami berjalan pulang untuk beristirahat. Selama satu bulan mengunjungi beberapa tempat di Pulau Seram menyadarkan saya bahwa sepak bola dapat mengajarkan banyak hal. Kesenangan dan kebahagiaan bisa kita dapatkan dengan tertawa dan berbincang dengan teman-teman kita tetapi kita juga harus sadar bahwa bagian dari diri kita juga butuh kebahagiaan. Sesederhana memberikan teman untuk kaki kita dan biarkan mereka bermain langkah dengan riangnya. Teks oleh : Muhamad Rendy Abdillah Foto oleh: Aisyah Nur F. Jumat, 27 Juli 2018 menjadi hari terakhir kami di Negeri Sepa, Maluku. Sekaligus menjadi hari terakhir saya, Ulung, Tito, Rian, Fadlan dan Rendy tinggal bersama bapak Mat, bapak asuh kami di Sepa. Bang Faiz sudah menyiapkan acara makan-makan bersama. “Sebagai pesta perpisahan kalian,” katanya.
Pagi harinya, Umi, kak Fer serta kakak-kakak lainnya sedang sibuk di dapur. Mereka membuat makanan yang akan kami santap untuk “pesta” nanti. Bang Faiz berencana membawa kami ke Pantai Ki’i untuk menikmati es kelapa muda sambil menyantap makan siang di tepi pantai Ki’i. Kami langsung berangkat menuju pantai Ki’i setelah pulang penelitian dari dusun Rohua dan Hahualan. Sebelum berangkat, kami sempatkan untuk berfoto terlebih dahulu untuk kenang-kenangan kami dengan keluarga Pak Mat. Setelahnya, kami naik mobil bak menuju pantai, ditemani angin yang berhembus terasa nyata di tubuh. Sesampainya disana, kami diturunkan di pinggir jalan. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju hutan. Hutan lebat menyambut kami, kini sinar matahari malu-malu menampakkan diri. Kami harus melewati jalan setapak licin yang ditutupi dedaunan pohon yang gugur, membuat kami harus berjalan pelan-pelan beriringan. Namun bagi Umi sekeluarga, jalan tersebut sudah menjadi keseharian mereka. Mereka terlihat santai saat berjalan, tidak seperti kami yang harus berusaha lebih keras. Ada satu waktu yang membuat kami terkejut, saat Umi membacakan semacam jampi-jampi sambil memegang sehelai daun. Daun tersebut selanjutnya ditempelkan ke jidat serta di antara lipatan telinga kami. Kata Umi hal tersebut dilakukan guna memberi tanda kepada para “penghuni” hutan bahwa ada orang baru yang berkunjung ke wilayah tersebut. Setelah berjalan selama 10 menit membelah hutan, kami disuguhi pemandangan pantai Ki’i yang indah, dengan air laut bening kebiruan. Ikan bakar, ikan goreng, sayur singkong sertas es kelapa sudah menanti untuk disantap. Tanpa pikir panjang kami segera menyantap makanan tersebut. Ditemani hembusan angin dan suara deburan ombak pantai, kami makan dengan rakus. Menerobos hutan dengan tanah licin rupanya cukup membuat tubuh kami berolahraga keras. Sehabis makan, barulah kami bermain-main air di lepas pantai. Ombak yang besar membuat kami berayun-ayun dari tepi pantai hingga ke tengah pantai yang luas. Hari itu sangat berkesan. Pantai Ki’i yang terletak dibalik hutan Sepa menyimpan keindahan tersendiri. Masih sangat murni dan asli, tidak ada yang mengganggu keindahan lautnya. Hari kami tutup dengan berjalan kaki menyusuri pantai indah Sepa setelah menyaksikan matahari maluku yang terbenam perlahan. Ketika menuju rumah, kami lalui dengan tertawa-tawa dan sesekali berfoto. Tidak terasa sudah satu bulan lamanya kami tinggal bersama keluarga bapak Mat dan umi , mendapat banyak pengalaman baru, dan pastinya cerita baru. Banyak hal yang pastinya akan saya rindukan ketika sampai di Ibu kota. Rasanya masih terus ingin melihat matahari terbenam di lepas pantai Sepa. Teks oleh : Annisa Noor Khilmia Adkhanti Foto oleh: Aisyah Nur F. Rohua: sebuah dusun yang terletak di bibir laut. Tepatnya di rumah Ibu Surya lah, yang belakang pagar rumahnya langsung berciuman dengan pantai, kami singgah. Sebuah parkiran untuk sampan milik para nelayan yang digunakan untuk melaut.
Pagi di Rohua selalu disibukkan oleh para nelayan yang akan berlayar untuk memancing berbagai ikan. Mereka menyebutnya ikan komo, ikan momar dan lain sebagainya. Pagi itu cuaca sedang cerah berawan karena sedang memasuki musim timur. Kami berkesempatan untuk ikut melaut menaiki sampan berukuran sedang yang muat ditumpangi 6 orang. Ditemani dua teman baru kami, saya bersama Bram, Naufal dan Irvan bersiap melaut. Kami menarik sampan yang terparkir di belakang rumah Ibu Surya menuju tepi laut. Tanpa berpikir panjang kami segera loncat menaiki sampan sesaat setelah sampan mengapung di atas air. Abang Cano dan Zaky, dua teman kami tadi mengayuh sampan menghampiri seorang nelayan. Nelayan tersebut sedang menghempaskan jaring perangkap yang sudah diberi pelampung di satu sisinya. Bapak nelayan tadi lalu mengayuh sampan menuju tengah laut untuk melebarkan jaringnya dan akan menunggu di sana sampai siang, menunggu ikan masuk ke perangkapnya. Kami pun melewati jaringnya untuk menyeberang menuju tengah laut. Dari tengah laut terlihat jelas hamparan hutan hijau yang lebat dibalik Rohua. Pohon-pohon tinggi khususnya pohon kelapa yang diselimuti asap kopra dan juga tipis kabut awan memberi kesan dramatis. Aktivitas para nelayan yang melaut membentuk pemandangan diorama spesial yang hanya dapat dijumpai di Dusun Rohua, Negeri Sepa ini. Kami harus kembali ke pantai dulu untuk berlabuh dan mengganti penumpang. Dwiki berganti mengambil posisi Irvan yang mabuk laut. Ditemani Bang Cano, Dwiki harus sedikit berenang karena posisi sampan tidak boleh menempel ke pantai. Jika sampan terdorong ombak sampai pantai kami harus mendorong ulang si sampan itu untuk kembali ke lautan. Tak lama setelah Dwiki naik, kami kembali mengayuh, menjumpai dua orang nelayan yang tengah menggabungkan sampan mereka, membentuk dermaga kecil untuk mengambil hasil jaring pagi itu. Mereka berhasil menjerat beberapa ikan komo sepanjang lengan orang dewasa dan ikan momar yang lebih kecil. Para nelayan dari Suku Nuaulu maupun masyarakat Rohua lainnya menggunakan kail yang mereka buat sendiri menggunakan tali pancing yang mereka lilitkan pada bambu yang mereka sebut wanate. Kailnya berupa potongan kayu kecil. Sedangkan untuk umpan mereka memanfaatkan binatang-binatang kecil. Yang saya dengar, di dekat pantai sebelum menuju laut lepas, di dasar laut Rohua terdapat kekayaan terumbu karang dan dengan air yang sangat jernih, dan kedalamnya hanya sekitar 3-5 meter sehingga dapat dilihat dengan kasat mata. Namun, sekarang sudah dipenuhi dengan lumut dan alga serta batu batuan karang yang berhamburan dipecah gemuruh ombak. Khususnya di daerah dekat pantai, ada pula perusahaan kayu besar yang sering melakukan pelayaran kapal kargo berukuran besar untuk mengirim bilah bilah kayu meranti yang diameternya bisa mencapai satu setengah meter. Di laut selatan Seram ini kami sudah menuju laut lepas yang jika kami teruskan, bisa bisa kami mendayung sampai ke kepulauan kei, bahkan mungkin saja mencapai tanah Papua. Cuaca sudah mulai mendung dan ombak sudah mulai tidak bersahabat, cukup membuat kami terombang-ambing layaknya kasbi (singkong) goyang buatan Bu Emi, salah satu ibu yang mengasuh kami tinggal. Para nelayan lainnya juga sudah mulai menaikkan jaringnya, kami pun memutuskan untuk mengayuh kembali menuju pantai, kembali ke parkiran sampan belakang rumah Ibu Surya. Ketika sudah sampai bibir pantai, bersama sama melompat dan mendorong sampan kembali ke tempat parkirnya. Teks oleh : Husni Fadhil Maulana Foto oleh : Fachrian Fauzi Perjalanan kami dari Jakarta ke Ambon terasa alot. Sebelumnya di bandara ketegangan kental terasa. Diantara kami semua yang berangkat di kloter tersebut tidak ada yang pernah ke Maluku. Perpisahan dengan orang tua serta teman-teman juga terasa getir. Lembabnya udara Jakarta subuh itu menyisakan titik keringat di keningku. Semenariknya bayangan petualangan dan penelitian di Seram nanti, ku sudah bersiap dalam hati, “Siap-siap. Maluku pasti lebih panas.”. Perasaan yang campur aduk itu berangsur berubah menjadi sebuah rasa bosan. Perjalanan di udara yang terasa lama dan minim hiburan, serta waktu terbang saban subuh mengantar perjalanan kami menuju Ambon.
Mendarat di Ambon, panas yang kupikir akan menyambutku tidak terasa sama sekali. Ambon saat itu mendung dengan hujan sekali dua kali. Udara sejuk, mungkin karena barak tentara tempat kami singgah sesampai di Ambon memang terletak agak tinggi. Jauh dari pesisir Ambon dan jalan menuju kesana dari bandara cukup menanjak berkelok. Mungkin Maluku tidak akan sepanas yang kupikir sebelumnya. Keesokan harinya Ambon mulai menunjukkan mataharinya. Panas menyengat kulitku yang sudah gelap dengan cukup ganas. Walaupun sebagian hari itu kembali mendung, dan hujan kembali membasahi tanah manise. Bahkan, keberangkatan kami naik kapal cepat ke Seram juga diiringi hujan dan awan mendung. Ombak berdebur cukup keras. Kapal bergoyang hebat. Perut kami seperti dikocok. Ku ingat ada mungkin lima dari kami yang mabuk. Sebagaian mengeluarkan asupan sarapan sebelum berangkat, sebagian lagi pucat pasi. Ku lihat keringat dingin terlihat berbulir di sebagian wajah mereka. Sampai di Seram, langit mendung. Mungkin nanti hujan lagi seperti di Ambon, pikirku. Cuaca di Seram ternyata sedang berubah-ubah selama tiga minggu kami tinggal berpetualan dan meneliti. Langit Seram tidak pernah setengah-setengah. Musim barat kala itu membawa awan bermuatan air yang siap ditumpahkan sekali-kali. Sisanya hanya angin semilir yang membawa kesejukan semu. Ketika tidak ada awan, langit Seram membiru cerah. Pada saat itulah ku teringat matahari Ambon yang menyengat. Kali ini matahari terasa menusuk kulit lebih dalam. Sunblock tidak banyak membantu. Panasnya tetap membakar. Kadang bahkan mataku terasa lelah, matahari Maluku cukup menyilaukan. Lebih panas dari Jakarta persis seperti dugaanku sebelumnya. Hujan dan mendung terasa spesial karena mereka lah satu-satunya yang bisa meredam panasnya matahari. Sudah keharusan sebagai divisi Mapping di Tim Besar untuk berkeliling kampung. Saat matahari sedang terik-teriknya, cukup sekali berkeliling kampung maka kulit akan menggelap. Matahari Maluku bagai jarum tato yang menyuntikkan tinta gelap ke kulit. Terasa membakar dan alih-alih memerah, biasanya kulitku akan langsung menghitam. Khususnya bagian kulit yang tidak tertutup pakaian seperti wajah, leher, lengan bawah dan kaki. Akan ada bekas gelang atau sandal gunung yang terlihat di kulit. Leher dengan pundak sudah sangat berbeda, ada garis definisi yang terang terlihat. Cukup menarik sebenarnya karena ada oleh-oleh yang bisa ku bawa, sebuah tanda mata dari Maluku: sebuah kulit belang. Teks oleh: Dwiki Ristanto Foto oleh: Aisyah Nur F. |
JurnalJurnal ditulis oleh para anggota Tim Besar Ekskursi Arsitektur UI yang menceritakan tentang pengalamannya di wilayah ekskursi. ArchivesCategories |